Apa kabar nya sobat sekalian....?
Kali ini saya akan berbagi tentang cerita rakyat dari daerah saya, yaitu Kabupaten Banyuasin
Kali ini saya akan berbagi tentang cerita rakyat dari daerah saya, yaitu Kabupaten Banyuasin
Cik Nona
Warga Pangkalan Balai tak ada yang tahu persis sejak kapan
cik nona selalu melamun di teras rumah panggungnya. Setiap bakda ashar, ia
duduk dengan menggunakan baju kurung warna hitam dan berkerudung warna yang sama juga. Ia baru akan masuk ke
rumah bila waktu sholat magribh akan tiba. Selalu begitu sepanjang tahun.
Cik Nona tak pernah peduli dengan aktivitas yang ada di sekitarnya. Walau pun anak-anak ramai
bermain di halaman rumahnya yang luas itu, ia tetap tak akan peduli. Ia hanya
duduk melamun ke arah jalan merdeka dengan tatapan yang sulit untuk
digambarkan.
Aku sesekali mampir ke rumah panggungnya itu sekedar untuk
bertegur sapa denganya. Cik nona adalah teman baikku semasa masih duduk di baku
SD dulu. Dulu, kami berdua bisa dikatakan sangat akrab. Sepulang sekolah, kami
sering mandi di sungai di suakbara. Orangtua kami sering memarahi kami sebab
badan kami sampai menggigil karena terlalu lama mandi.
Bila aku mampir, cik nona hanya tersenyum saja. Tak ada
kata-kata yang keluar dari bibir tipisnya itu. Cik Nona sesungguhnya adalah
gadis yang cantik. Kulitnya kuning langsat, hidungnya mancung, pipihnya
keemerahan-merahan lengkap dengan lesung pipi di kanan dan kirinya.
Sehari-hari cik nona adalah gadis yang periang dan suka
guyonan dengan teman-temannya. Makanya ketika kemudian cik nona menjadi pendiam
dan suka melamun setiap bakda ashar, aku dan teman-teman merasa kehilangan
teman yang kami cintai.
Sebagai teman baiknya, aku juga tidak tahu penyebab
perubahan sikap cik nona tersebut. Pernah sekali kutanyakan kepadanya tentang
hal tersebut. Namun, cik nona hanya diam, tersenyum, dan melamun lagi.
“ada apa cik ?” Tanya ku dengan lembut.
Cik nona menatapku sebentar dan kembali melamun. Matanya
terlihat kosong dan melihat ke jalan Merdeka. Jalan lintas timur sumatera itu
semakin padat dan semerawut saja. Namun, cik nona tak peduli dengan
kesemrawutan tersebut. Mobil-mobil pribadi dan truk-truk beesar saling menyalip
seakan tak sabar untuk mencapai tujuannya. Asap knalpot membumbung ke angkasa
menimbulkan suasana gersang di kota kecil itu. Akan tetapi, Cik nona tetap tak
peduli. Ia tetap menatap kosng ke arah jalan hingaa menjelang azan magribh.
Banyak gosip yang beredar tentang penyebab suka melamunnya
cik nona. Ada yang mengatakan bahwa karena ia gagal masuk UNSRI setamat SMA di
Palembang. Cik nona ingin sekali jadi guru. Namun, ia tidak lulus masuk FKIP
Unsri. Konon, berhari-hari cik nona meratapi nasibnya meratapi kegagalannya
untuk menjadi guru Fisika yang telah diidam-idamkanyya. Cik Nona memang jago
fisika dan selalu juara kelas.
Gosip lainnya mengatakan bahwa Cik Nona mulai suka melamun
sejak ia putus cinta dengan Mat Halil, mantan ketua OSIS semasa SMA dulu.
Kabarnya, Mat Halil ini memutuskan Cik Nona hanya gara-gara ia tidak kuliah.
Tak ada yang dapat pastikan apakah gosip-gosip tersebut
memang benar adanya, atauakah hanya sekedar gosip belaka. Penyebabnya tentu
saja karena Cik Nona tak pernah mau menceritakan ataupun berkeluh kesah.
Ia hanya melamun dan menutup mulutnya
rapat-rapat.
"Ceritahlah, Cik” kataku suatu sore ketika aku mampir
karena hujan turun sangat lebat. Kutatap wajahnya yang masih tetap cantik dan
kemerah-merahan. Ingin sekali aku membantu sahabatku ini. Bila memandang
wajahnya, aku selalu ingat ketika kami dihukum guru kelas kami gara-gara mandi
hujan saat jam istirahat. Kami dihukum berdiri berhadap-hadapan dan saling
menjewer. Cik Nona hanya tersenyum-senyum dan memainkan telunjuknya di
telingaku. Bukannya sakit yang kudapat, aku malah kegelian. Akibatnya aku
tertawa terbahak-bahak. Guru kelas kami sangat marah dan menghukum kami berdiri
didepan tiang bendera hingga lonceng tanda usai sekolah berbunyi.
“cik, ceritahlah!”ketiak saat kulihat Cik Nona tetap diam dan tak
menjawab pertanyaanku. Namun, hingga menjelang azan Magribh, Cik Nona tetap
diam dan mengarahkan pandangannya yang kosong ke arah jalan raya yang masih
juga semrawut. Azan Magribh sayup-sayup mulai terdengar dari Mesjid Jumhuriyah.
Cik Nona merapikan kerudungnya, lalu berdiri dan tanpa berkata-kata
meninggalkanku yang terpaku melihat sikapnya. Baju kurung hitamnya terlihat
mulai lusuh di keremangan petang yang dingin tersebut. Aku mengarahkan
pandanganku ke jalan merdeka dingin dan melihat sepasang kaum muda mudi melaju
kencang di atas motor RX King nya yang bersuara memekakkan. Perlahan aku
berdiri lalu menuruni tangga rumah panggungnya. Ah, Cik Nona!
Posting Komentar